Rabu, 15 Februari 2012

Sejarah & Perkembangan Keluarga Berencana


Masalah utama kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan tidak merata. Hal ini diimbangi dengan masalah lain, yaitu angka fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini tidak menguntungkan dari segi pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari kualitas pendidikan penduduk yang masih rendah dan angka ketergantugan yang cukup tinggi sehingga penduduk dianggap lebih sebagai beban dari modal pembangunan. Melihat hal tersebut pemerintah berusaha membuat suatu kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk mengenai pentingnya suatu keluarga melakukan pengaturan pembatasan jumlah anak.

Pada awalnya masalah fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan solusi yang dilakukan dalam rangka ini adalah untuk mencapai sasaran kuantitatif. Hal ini sangat jelas dari sasaran awal program keluarga berencana dilaksanakan di Indonesia yaitu menurunkan angka kelahiran total (TFR) menjadi separuhnya sebelum tahun 2000. Dilihat dari sasaran awal sebagai acuan, upaya pemerintah ini tidak dapat diragukan lagi keberhasilannya.
Keberhasilan tersebut sangat jelas, misalnya terjadinya penurunan TFR yang signifikan selama periode 1967 – 1970 sampai dengan 1994 – 1997 . Selama periode tersebut TFR mengalami penurunan dari 5,605 menjadi 2,788 (SDKI 1997). Atau dengan kata lain selama periode tersebut TFR menurun hingga lima puluh persen. Bahkan pada tahun 1998 angka TFR tersebut masih menunjukkan penurunan, yaitu menjadi 2,6.
Penurunan fertilitas tersebut terkait dengan keberhasilan pembangunan sosial dan ekonomi, yang merupakan salah satu bentuk keberhasilan kependudukan, khususnya di bidang keluarga berencana di Indonesia. Namun banyak masalah masih sering kita dengar. Program keluarga berencana dirasa masih  mengalami rendahnya kualitas pelayanan KB (termasuk kesehatan), khususnya dalam  praktek di lapangan. Masalah kualitas pelayanan sejak awal sudah muncul, tetapi kini sudah dapat diredam sehingga tidak meluas melalui berbagai cara.
Dalam arti yang lebih luas, persoalan fertilitas tidak hanya berhubungan dengan jumlah anak saja, karena sebenarnya terkait hal-hal yang sangat kompleks dan variatif, misalnya menyangkut perilaku seksual, kehamilan tak dikehendaki, aborsi, PMS, kekerasan seksual, dan lain sebagainya yang ada dalam masalah kesehatan di Indonesia. Respons terhadap hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh BKKBN dan Meneg Kependudukan (Country Report, 1998 dan Wilopo, 1997). Akan tetapi respons tersebut masih belum menyentuh persoalan mendasar yang ada di dalamnya sehingga masalah tersebut belum sepenuhnya tertangani dengan baik.


Sejarah dan Pelaksanaa Program KB di Indonesia

Latar Belakang
Dasar pemikiran lahirnya KB di Indonesia adalah adanya permasalahan kependudukan. Aspek-aspek yang penting dalam kependudukan adalah :
1. Jumlah besarnya penduduk
2. Jumlah pertumbuhan penduduk
3. Jumlah kematian penduduk
4. Jumlah kelahiran penduduk
5. Jumlah perpindahan penduduk
Program KB di Indonesia dimulai sekitar tahun 1957. Pada tahun tersebut didirikan perkumpulan Keluarga Berencana (PKB). Pada saat itu program KB masuk ke Indonesia melalui jalur urusan kesehatan (bukan urusan kependudukan). Belum ada political will dari pemerintah saat itu. Program KB masih dianggap belum terlalu penting. Kegiatan penyuluhan dan pelayanan masih terbatas dilakukan karena masih ada pelarangan tentang penyebaran metode dan alat kontrasepsi.
Begitu memasuki orde baru, program KB mulai menjadi perhatian pemerintah. Saat itu PKBI sebagai organisasi yang mengelola dan concern terhadap program KB mulai diakui sebagai badan hukum oleh departemen kehakiman. Pemerintahan orde baru yang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi, mulai menyadari bahwa program KB sangat berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi.
Kemudian pada tahun 1970 resmilah program KB menjadi program pemerintah dengan ditandai pencanangan hari keluarga nasional pada tanggal 29 Juni 1970. Pada tanggal tersebut pemerintah mulai memperkuat dan memperluas program KB ke seluruh Indonesia.
Selama hampir 30 tahun program KB berjalan, dari tahun 1970-2000, baru masyarakat Indonesia bisa menerima bahwa KB adalah kebutuhan. Berangsur-angsur dari tahun ke tahun berkat kegigihan para pejuang KB pada masanya, masyarakat negeri ini mulai sadar dan mengerti bahwa ternyata program KB bukanlah program pembunuhan calon bayi. Namun program untuk mengatur kelahiran bayi supaya tidak terlalu berdekatan dan tidak terlalu banyak.
Nampaknya hal ini memang tidak mudah dilakukan. Selama berpuluh tahun para pejuang KB di lini lapangan terus memperjuangkan dan menyadarkan masyarakat bahwa program KB ini adalah salah satu program yang dapat menghantarkan mereka memiliki keluarga yang berkualitas. 
Angka mencatat, terdapat penurunan TFR Selama dari tahun 1970 hingga tahun 2000. TFR adalah kependekan dari Total Fertility Rate, yaitu rata-rata kemampuan seorang perempuan melahirkan bayi selama masa reproduksinya. Pada tahun 1970, TFR tercatat 5,6. Ini artinya pada tahun tersebut, rata-rata perempuan Indonesia melahirkan bayi antara 5 hingga 6 orang bayi selama masa suburnya. Dan pada tahun 2000, TFR turun menjadi 2,8. Artinya di era 2000-an ini kemampuan seorang perempuan bereproduksi menghasilkan 2 hingga 3 orang anak selama masa suburnya.
Penurunan angka rata-rata kelahiran ini tentu tidak lepas dari peranan para penyuluh KB lapangan atau yang lebih dikenal dengan tenaga PLKB. Mereka lah yang berjasa menyadarkan masyarakat bahwa betapa pentingnya memiliki anak yang tidak terlampau banyak. Berkat perjuangan tersebut, Indonesia berhasil menekan jumlah penduduk sebanyak 79 juta jiwa selama dari tahun 1970 hingga 2000.
Berdasarkan data yang saya peroleh pada saat pelatihan dasar umum tahun 2006 di Balai diklat BKKBN Provinsi Jawa Barat, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1970 tercatat lebih kurang 110 juta jiwa, maka setelah dilaksanakan program KB, pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia adalah 203 juta jiwa. Itu setelah dilaksanakan program KB. Jika program KB tidak dilaksanakan, maka jumlah penduduk di Indonesia diprediksi akan meledak hingga 282 juta jiwa.

Adapun teknis pelaksanaan dan hasil KB pada waktu itu adalah sebagai berikut :

1. Pengetahuan dan motivasi
Pengetahuan dan motivasi keluarga berencana dalam Repelita I terutama ditujukan untuk memberikan pengetahuan seluas-luasnya kepada masyarakat tentang terdapatnya kemungkinan bagi mereka untuk melaksanakan perencanaan keluarga. Hal ini dilakukan baik melalui Pengetahuan umum, Pengetahuan kelompok, Penyuluhan, maupun melalui pendidikan kependudukan.

a. Pengetahuan umum.
Pengetahuan yang bersifat umum dilakukan terutama melalui surat-surat kabar, majalah, kantor berita, siaran radio, TVRI,   lagu-lagu populer keluarga berencana, pembuatan film cerita dan dokumenter tentang keluarga berencana, penerbitan-penerbitan, spanduk-spanduk, papan bergambar, stempel pos pada surat-surat, perangko keluarga berencana dan lambang keluarga berencana pada mata uang logam.

b. Pengetahuan kelompok.
Pengetahuan kelompok terutama dilakukan melalui bantuan yang diberikan kepada seminar/raker/pertemuan berbagai kelompok masyarakat serta mengirimkan tenaga-tenaga pendidik untuk melakukan pendekatan terhadap berbagai kelompok khusus masyarakat di daerah-daerah tertentu. Da1am  rangka ini telah dilakukan pendekatan terhadap golongan-golongan "berpengaruh" dalam masyarakat yang diharapkan tidak hanya akan menjadi penghubung dan penyebar gagasan keluarga berencana, akan tetapi diharapkan menjadi "orang contoh" dalam pelaksanaan keluarga berencana. Untuk itu  selama Repelita I telah dilakukan pendekatan secara khusus terhadap pemimpin-pemimpin masyarakat, alim ulama, organisasi karyawan swasta dan pemerintah, organisasi pemuda, pelajar, cendekiawan, kalangan Angkatan Bersenjata, usahawan  dan lain sebagainya.

c. Penyuluhan 
Perhatian yang telah timbul dari kalangan masyarakat terhadap program keluarga berencana segera membutuhkan penggarapan yang lebih bersifat perorangan agar kesadaran yang telah berkembang tersebut dapat tumbuh menjadi tindakan melaksanakan keluarga berencana. Hal ini dilakukan melalui penyuluhan baik berupa pendekatan  secara langsung kepada calon akseptor maupun kepada mereka yang telah menjadi akseptor. Dengan demikian diharapkan jumlah akseptor baru terus bertambah dan bersamaan dengan  itu kelangsungan akseptor yang telah ada dapat terus dipertahankan. Kegiatan penyuluhan tersebut untuk sebagian besar dilakukan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Oleh karena itu selama Repelita I jumlah tenaga PLKB terus ditingkatkan. Dalam tahun 1969/70 dan tahun 1970/71 belum terdapat tenaga PLKB yang terorganisir. Sejak tahun 1971/72 telah tercatat 1.930 orang tenaga PLKB, kemudian dalam tahun 1972/73 terdapat tambahan 3.774 orang dan kemudian dalam tahun 1973/74 tercatat PLKB baru sejumlah 5.969 orang.

d. Pendidikan kependudukan.
Pendidikan kependudukan ditujukan untuk mengembangkan pengertian tentang hubungan rasional antara perkembangan jumlah penduduk (manusia) dan perkembangan sumber-sumber kehidupan yang terdapat di sekitarnya. Kegiatan ini dilakukan baik melalui pendidikan di dalam sekolah maupun pendidikan  di luar sekolah.
Pelaksanaan kegiatan pendidikan kependudukan secara terorganisir mulai dilaksanakan sejak tahun 1971/72. Langkah ini dirintis melalui seminar dan loka karya untuk mendapatkan pengarahan dan cara pendekatan yang tepat untuk masyarakat Indonesia. Selama masa Repelita I telah dapat diselesaikan penyusunan bahan-bahan pelajaran pendidikan kependudukan dan telah dapat dirumuskan 26 bahan pelajaran dari 26 judul.

2. Pelayanan medis keluarga berencana.
Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan keluarga berencana segera membutuhkan tersedianya sarana pelayanan agar mereka mendapatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk melaksanakan keluarga berencana. Sarana utama untuk melayani pelaksanaan keluarga berencana adalah terse¬dianya klinik-klinik keluarga berencana yang dengan mudah dapat dicapai oleh masyarakat banyak.

Di samping memberikan pelayanan untuk pelaksanaan keluarga berencana, klinik-klinik tersebut sekaligus memberikan pelayanan pula untuk meningkatkan kesehatan, khususnya bagi ibu dan anak. Dalam rangka kegiatan ini tercakup pula kegiatan untuk perbaikan gizi. Dengan demikian klinik-klinik keluarga berencana pada hakekatnya sekaligus merupakan sarana utama pula bagi peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. 
Klinik keluarga berencana pada dasarnya adalah Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) yang memberikan pelayanan keluarga berencana dan pada umumnya diintegrasikan ke dalam Puskesmas. Penyelenggaraan klinik tersebut dilakukan oleh unit-unit pelaksana seperti Departemen Kesehatan, Angkatan Bersenjata, Muhammadiyah, Dewan Gereja Indonesia, perusahaan-perusahaan dan lain sebagainya. Jumlah klinik keluarga berencana terus berkembang selama Repelita I. Apabila dalam tahun 1969/70  hanya terdapat 727 klinik keluarga berencana maka pada tahun terakhir Repelita I (1973/74)   jumlah tersebut telah meningkat menjadi 2.235 buah 
Perkembangan jumlah klinik tersebut membutuhkan penambahan tenaga yang dapat melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka ini jumlah tenaga dokter yang melayani keluarga berencana (Jawa-Bali) telah bertambah jumlahnya dari 421 orang dalam tahun 1969/70 menjadi 1.186 orang dalam tahun terakhir Repelita I (1973/74). Demikian pula halnya dengan tenaga bidan yang melayani keluarga berencana. Dalam tahun 1969/70 baru tercatat 855 orang bidan yang melayani klinik keluarga berencana. Namun pada tahun terakhir Repelita I (1973/74) untuk daerah Jawa dan Bali telah tercatat 2.241 orang tenaga bidan pada klinik keluarga berencana. Peningkatan jumlah tenaga yang melayani klinik keluarga berencana tersebut juga berlaku bagi tenaga pembantu bidan dan tenaga administrasi.
Sementara itu kepada ibu yang baru melahirkan di rumah sakit, atau klinik bersalin, dilakukan "pendekatan khusus". Pendekatan ini dimaksudkan agar ibu yang baru melahirkan tersebut dapat memperoleh pelayanan langsung pada waktu-  nya. Kegiatan ini dimulai sejak tahun 1969 meliputi 6 buah   klinik di Jakarta dan Bandung. Sejak tahun 1971 kegiatan ini diperluas ke daerah lainnya di Jawa, Bali dan Sumatera sehing-     ga seluruhnya meliputi 26 buah rumah sakit.
Kecuali itu terhadap ibu-ibu yang melahirkan di luar rumah sakit (klinik bersalin), misalnya melahirkan di rumah sendiri, dilakukan pula "pendekatan khusus", sehingga ibu yang ber sangkutan langsung memperoleh pelayanan keluarga beren-   cana pada waktunya. Konsep pelaksanaan kegiatan pelayanan keluarga berencana sesudah melahirkan di luar rumah sakit tersebut telah diselesaikan perumusannya pada akhir Repelita I (1973/74). 

3. Pendidikan dan latihan keluarga berencana.
Kegiatan pendidikan dan latihan keluarga berencana selama masa Repelita I terutama meliputi usaha-usaha dalam lapangan sebagai berikut:
a. Pengembangan sarana pusat-pusat latihan (termasuk peralatan pengajar).
b. Pengembangan tenaga-tenaga pelatih keluarga berencana.
c. Penyediaan buku pedoman.
d. Pembakuan kurikulum latihan keluarga berencana.
e. Pembinaan sistim latihan.
f. Integrasi kurikulum keluarga berencana pada universitas   dan berbagai lembaga pendidikan lainnya.
Kegiatan latihan untuk keluarga berencana selama Repelita I meliputi pelbagai jenis tenaga, antara lain dokter, bidan, perawat, petugas lapangan keluarga berencana, pekerja sosial, pe¬tugas pengetahuan, dukun dan pelbagai jenis tenaga lainnya. Selama masa Repelita I telah berhasil diberikan latihan keluarga berencana bagi 40.752 orang yang terdiri dari para petugas dari berbagai lapangan.

4. Logistik.
Kegiatan di lapangan logistik keluarga berencana merupakan kegiatan penunjang dalam pelbagai bidang yang amat mempengaruhi berhasilnya pelaksanaan program keluarga berencana secara keseluruhan. Hal ini meliputi penyediaan alat kontrasepsi, fasilitas kerja, sarana angkutan dan lain sebagainya.
Keadaan penyediaan obat/alat kontrasepsi pada tahun-tahun pertama Repelita I dirasakan sangat kurang. Selama masa Repelita I berbagai langkah telah diambil agar alat .kontrasepsi dapat tersedia pada tempat dan waktu yang tepat. Dalam rangka memantapkan penyediaan alat kontrasepsi tersebut,   pada akhir Repelita I telah dapat dicatat kemajuan-kemajuan sebagai berikut:
a. Produksi I.U.D. telah mulai dilakukan di Indonesia (sejak akhir 1973/74).
b. Penyediaan pil telah mulai disediakan melalui dana dalam negeri (sejak tahun 1973/74) sedangkan sebelumnya pada umumnya bersumber dari bantuan luar negeri.
c. Kegiatan swasta dalam lapangan produksi alat kontrasepsi telah mulai berkembang (misalnya kondom). 
Di samping penyediaan alat kontrasepsi, selama masa Repelita I telah dapat disediakan pula sarana angkutan (kendaraan) untuk para petugas/pelayanan keluarga berencana. Demikian pula telah disediakan peralatan medis untuk klinik keluarga berencana, serta peralatan untuk pusat-pusat latihan keluarga berencana.

5. Pencatatan dan pelaporan.
Pada tahun-tahun pertama Repelita I sistem pencatatan dan pelaporan, khususnya untuk klinik keluarga berencana masih belum seragam. Hal ini dirasakan mengganggu kelancaran pelaksanaan sistem pencatatan dan pelaporan dan sekaligus juga menghambat langkah-langkah untuk menilai kemajuan pelaksanaan program.
Sejak awal tahun 1971/72 telah dilaksanakan satu sistim pencatatan dan pelaporan (serta dokumentasi) yang berlaku seragam secara nasional. Tujuan utama pembinaan sistim, pen¬catatan dan pelaporan ini adalah untuk menyediakan data tentang jalannya pelaksanaan program secara teratur dan terus menerus. Proses pelaporan ini diusahakan berjalan secepat mungkin sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan  dan penentuan kebijaksanaan secara tepat dan cepat.
Dalam rangka penyeragaman sistim pencatatan dan pelaporan tersebut telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pendaftaran klinik keluarga berencana.
b. Penggunaan kartu dan formulir yang seragam secara na¬sional.
c. Penggunaan sistim laporan yang seragam secara nasional.
d. Mempercepat proses pelaporan balik.
e. Identifikasi ciri-ciri akseptor secara terus menerus.   

6. Penelitian dan penilaian.
Kegiatan penelitian dan penilaian selama Repelita I  terutama ditujukan untuk :
a. Mengadakan pembinaan para tenaga peneliti (dan staf) baik di pusat maupun di daerah.
b. Mengadakan koordinasi pelaksanaan penelitian dan peni-laian untuk menunjang pelaksanaan keluarga berencana.

Untuk mengadakan pembinaan penelitian keluarga beren-  cana selama masa Repelita I telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Inventarisasi Lembaga-lembaga Penelitian yang bergerak di bidang penelitian yang ada hubungannya dengan keluarga berencana (sosial, psikologi, anthropologi dan lain sebagainya).
b. Inventarisasi lembaga penelitian yang bergerak di lapangan keluarga berencana yang terdapat pada universitas/ perguruan tinggi.
c. Latihan bagi petugas penelitian keluarga berencana (di dalam maupun di luar negeri).
Sementara itu telah dilakukan penelitian-penelitian yang secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Penelitian data dasar :
(1) Penelitian fertilitas dan mortalitas.
(2) Penelitian mengenai pengetahuan, sikap dan praktek keluarga berencana.
(3) Pencatatan data pokok tentang kelahiran dan kematian.
(4) Identifikasi faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan keluarga berencana.
b.   Penelitian dalam rangka follow up:
1) Penelitian tentang kebenaran pelaporan jumlah akseptor.
2) Penelitian kelangsungan pemakaian alat kontrasepsi.
3) Penelitian tingkah laku akseptor setelah menerima alat kontrasepsi.
4) Faktor yang mempengaruhi pemilihan suatu metode keluarga berencana.
c.    Penelitian dalam rangka penilaian program:
(1)  Penelitian kemampuan Petugas Lapangan Keluarga  Berencana.
(2) Penilaian alat mass media untuk keluarga berencana.
(3) Penilaian hasi1 1atihan yang telah dilakukan.
(4) Penelitian tentang efisiensi dan efektifitas pembiayaan.


7. Perkembangan jumlah dan ciri khas akseptor.
Dalam tahun pertama Repelita I (1969/70) jumlah akseptor  baru mencapai jumlah 53,1 ribu orang. Jumlah ini terus mening-kat setiap tahun. Pada tahun terakhir Repelita I (1973/74) jumlah akseptor mencapai jumlah 1.369,1 ribu orang. Dengan demikian jumlah akseptor baru selama Repelita I (jumlah kumulatif) adalah 3.201,6 ribu orang. Jumlah ini telah melampaui perkiraan jumlah akseptor baru selama Repelita I, yang semula diperkirakan akan berjumlah 3.000.000 orang.
Demikian pula nampak bahwa persentase turut sertanya para akseptor baru dari kalangan petani makin bertambah meningkat. Gambaran ini memberikan harapan bahwa pelaksanaan keluarga berencana lambat laun makin menjadi    milik dari kalangan sebahagian besar masyarakat terutama  yang berada di daerah pedesaan.
Perkembangan lainnya yang menarik pula adalah, bahwa "saluran penghubung" dari mana akseptor baru memperoleh keterangan tentang keluarga berencana juga mengalami perubahan. Jika pada tahun 1971/72 untuk sebagian besar para akseptor memperoleh keterangan tentang keluarga berencana   dari para petugas kesehatan, maka pada tahun 1973/74 untuk Sebagian besar keterangan tentang keluarga berencana diperoleh dari pada Petugas Lapangan Keluarga Berencana. Dengan demikian maka peranan para PLKB menjadi lebih kentara dan oleh karenanya perlu lebih ditingkatkan pembinaannya untuk waktu selanjutnya.
Data-data tentang ciri khas para akseptor tersebut tidak hanya bermanfaat untuk lebih meningkatkan usaha mendapatkan akseptor baru akan tetapi juga untuk menjaga kelangsungan daripada para akseptor yang telah ada.

Perkembangan Program KB di Indonesia
Perkembangan program KB di indonesia di bagi menjadi dua periode yaitu ;
1. Periode Perintisan dan Peloporan
2. Periode Persiapan dan Pelaksanaan

Periode Perintisan dan Pelaporan
1. Sebelum 1957 – Pembatasan kelahiran secara tradisional (penggunaan ramuan, pijet, absistensi/ wisuh/ bilas liang senggama setelah coitus).
2. Perkembangan birth control - Berdiri klinik YKK (Yayasan Kesejahteraan Keluarga) di Yogyakarta. Di Semarang : berdiri klinik BKIA dan terbentuk PKBI tahun 1963. Di Jakarta : Prof. Sarwono P, memulai di poliklinik bagian kebidanan RSUP. Jawa dan luar pulau Jawa (Bali, Palembang, Medan).


Periode Persiapan dan Pelaksanaan
Terbentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencanan Nasional) yang mempunyai tugas pokok mewujudkan kesejahteraan sosial, keluarga dan rakyat. Bermunculan proyek KB sehingga mulai diselenggarakan latihan untuk PLKB (Petugas Lapangan keluarga Berencana).

Organisasi KB
1. PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
2. BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)

PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
Terbentuk tanggal 23 Desember 1957, di jalan Sam Ratulangi No. 29 Jakarta. Atas prakarsa dari dr. Soeharto yang didukung oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo, dr. H.M. Judono, dr. Hanifa Wiknjosastro serta Dr. Hurustiati Subandrio. Pelayanan yang diberikan berupa nasehat perkawinan termasuk pemeriksaan kesehatan calon suami isteri, pemeriksaan dan pengobatan kemandulan dalam perkawinan dan pengaturan kehamilan.

Visi PKBI
Mewujudkan masyarakat yang sejahtera melalui keluarga.

Misi PKBI
Memperjuangkan penerimaan dan praktek keluarga bertanggungjawab dalam keluarga Indonesia melalui pengembangan program, pengembangan jaringan dan kemitraan dengan semua pihak pemberdayaan masyarakat di bidang kependudukan secara umum, dan secara khusus di bidang kesehatan reproduksi yang berkesetaraan dan berkeadilan gender.

BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)
Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 tentang pembentukan badan untuk mengelola program KB yang telah dicanangkan sebagai program nasional.
Penanggung jawab umum penyelenggaraan program ada pada presiden dan dilakukan sehari-hari oleh Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat yang dibantu Dewan Pembimbing Keluarga Berencana.

Dasar pertimbangan pembentukan BBKBN
1) Program keluarga berencana nasional perlu ditingkatkan dengan jalan lebih memanfaatkan dan memperluas kemampuan fasilitas dan sumber yang tersedia. 
2) Program perlu digiatkan pula dengan pengikut sertaan baik masyarakat maupun pemerintah secara maksimal.
3) Programkeluarga berencana ini perlu diselenggarakan secara teratur dan terencana kearah terwujudnyatujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Tugas pokok BBKBN
1) Menjalankan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi terhadap usaha-usaha pelaksanaan programkeluarga berencana nasional yang dilakukan oleh unit-unit pelaksana. 
2) Mengajukan saran-saran kepada pemerintah mengenai pokok kebijaksanaan dan masalah-masalah penyelenggaraanprogram Keluarga Berencana Nasional. 
3) Menyusun Pedoman Pelaksanaan Keluarga Berencanaatas dasar pokok-pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
4) Mengadakan kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara asing maupun badan-badan internasional dalam bidang keluarga berencana selaras dengan kepentingan Indonesia dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. 
5) Mengatur penampungan dan mengawasi penggunaan segala jenis bantuan yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pelita I yaitu tahun 1969-1974 daerah program Keluarga Berencana meliputi 6 propinsi yaitu Jawa Bali (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali). Merupakan daerah perintis dari BKKBN.
Tahun 1974 muncul program-program integral (Beyond Family Planning) dan gagasan tentang fase program pencapaian akseptor aktif.
Berdasar Keppres 38 tahun 1978 BKKBN bertambah besar jangkauan programnya tidak terbatas hanya KB tetapi juga program Kependudukan.

Perkembangan BBKBN dimasa sekarang

VISI : keluarga berkualitas 2015.
MISI: Membangun setiap keluarga Indonesia untuk memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan, informasi kependudukan dan keluarga, serta penguatan kelembagaan dan jejaring KB.

Tugas pokok 
Melaksanakan tugas pemerintahan dibidang keluarga berencana dan keluargasejahtera sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Landasan hukum
TAP MPR No. IV/1999 ttg GBHN; UU No. 22/1999 ttg OTODA; UU No. 10/1992 ttg PKPKS; UU No. 25/2000 ttg PROPENAS; UU No. 32/2004 ttg PEMERINTAHAN DAERAH; PP No. 21/1994 ttg PEMBANGUNAN KS; PP No. 27/1994 ttg PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN; KEPPRES No. 103/2001; KEPPRES No. 110/2001; KEPPRES No. 9/2004; KEPMEN/Ka.BKKBN No. 10/2001; KEPMEN/Ka.BKKBN No. 70/2001

Filosofi BBKBN adalah menggerakkan peran serta masyarakat dalam keluarga berencana.Grand Strategi: 1) Menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dalam program KB; 2) Menata kembali pengelolaan program KB; 3) Memperkuat SDM operasional program KB; 4) Meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui pelayanan KB;5)Meningkatkan pembiayaan program KB. 
Nilai-nilai yang terkandung dalam grand strategi adalah integritas, energik, profesional kompeten, partisipatif, konsisten, organisasi pembelajaran, kreatif/ inovatif
Kebijakan dari adanya grand strategi adalah pndekatan pemberdayaan, pendekatan desentralisasi, pendekatan kemitraan, pendekatan kemandirian, pendekatan segmentasi sasaran, pendekatan pemenuhan hak (rightbased), pendekatan lintas sektor.

Strategi
1. Re-Establishment adalah mmbangun kembali sendi-sendi pogram KB nasional sampai ke tingkat lini lapanngan pasca penyerahan kewenangan.
2. Sustainability adalah memantapkan komitmen program dan kesinambungan dukungan oleh segenap stakeholders dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah.
Tujuannya adalah : 1) Keluarga dengan anak ideal; 2) Keluarga sehat; 3) Keluarga berpendidikan; 4) Keluarga sejahtera; 5) Keluarga berketahanan; 6) Keluarga yang terpenuhi hak-hak reproduksinya; 7) Penduduk tumbuh seimbang (PTS )

Program KB
1. Keluarga berencana
2. Kesehatan reproduksi remaja
3. Ketahanan dan pemberdayaan keluarga
4. Penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas
5. Keserasian kebijakan kependudukan
6. Pengelolaan SDM aparatur
7. Penyelenggaran pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan
8. Peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara

KESIMPULAN
1. Sejarah dan pelaksanaan program KB di Indonesia dimulai sekitar tahun 1957. Pada tahun tersebut didirikan perkumpulan Keluarga Berencana (PKB). Pada saat itu program KB masuk ke Indonesia melalui jalur urusan kesehatan (bukan urusan kependudukan). Hingga sekarang program ini telah mengelami perubahan-perubahan dan mulai dirasakan manfaatnya. Adapun teknis pelaksanaan program KB ini adalah sebagai berikut : a) Pengetahuan dan motivasi; b) Pelayanan medis keluarga berencana. ; c)  Pendidikan dan latihan keluarga berencana. ; d) 4. Logistik. ; e) Pencatatan dan pelaporan. ; f) Penelitian dan penilaian. ; g) Perkembangan jumlah dan ciri khas akseptor.
2. Adapun perkembangan program KB di Indonesia dapat di bagi menjadi dua periode yaitu :
a. Periode Perintisan dan Peloporan
b. Periode Persiapan dan Pelaksanaan

Saran
Suatu program dari pemerintah yang telah dibuat tidak akan berjalan dengan sukses tanpa adanya proses kerjasama antara petugas yang terkait dan masyarakat sekitar. Petugas sebaiknya memiliki rasa bersabat dan rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini akan menumbuhkan rasa simpati masyarakat dan dapat meringankan tugas mereka. Sedangkan untuk masyarakat, mereka harus mengubah pola pikir untuk menjadi masyarakat yang maju dan demokratis. Semua ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi negara Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Mulyo, Tri.2010.Pengantar Demografi.Boyolali : CV Artaguna.
http://www.akademika.or.id/arsip/FER-T-WD.PDF
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/919/934/
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6305504520.pdf
 http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah2.pdf
http://www.lusa.web.id/perkembangan-kb-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi teman-teman yang ingin berkomentar di persilahkan.
Terima kasih telah berkunjung :)